Get Gifs at CodemySpace.com

Rabu, 25 Mei 2011

Sepotong Kue Tart dan Secuil Pahala

Bayangkanlah … Anda ditawari sepotong kue tart, yang terdiri dari kue bolu coklat yang dilapisi whipping cream yang lembut, ditambah dengan serutan coklat di atasnya, plus stroberi yang rasa asam-manisnya semakin melengkapi kenikmatan kue tart tersebut.
Lalu, Anda ditanya, “Ingin pilih yang mana? Kertas alas kuenya, secuil whipping cream-nya, kue bolunya saja, atau ingin kue tart yang utuh?”
Sepertinya, nyaris tak mungkin jika Anda menjawab, “Kertas alas kuenya saja.” Benar begitu, bukan?
Jika itu berlaku dalam permisalan perkara dunia, maka bagaimana lagi dengan perkara pahala akhirat? Tentunya jauh lebih mulia! Terdapat berbagai jenis tawaran pahala yang menanti Anda dalam ibadah sunah. Anda boleh mengambil separuh, seujung jari, atau mungkin seluruhnya. Semuanya adalah pilihan yang Anda ambil sendiri.
Maka, apakah jawaban Anda, jika ada yang bertanya, “Anda lebih suka yang mana: mengucap salam atau menjawab salam secara lengkap lalu beroleh pahala secara sempurna, atau mengucap atau menjawab salam dengan singkat sesingkat-singkatnya lalu hanya beroleh sepotong pahala atau bahkan tak beroleh secuil pun pahala?”
Sebagai manusia yang fitrahnya berharap surga, tentunya Anda ingin pahala yang sempurna, bukan?
Assalamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh
Ada fenomena menarik di masa serba instan ini. Yaitu, betapa meluasnya bentuk “salam instan”: Ass, Askm, Ass. Wr. Wb., Askum, Aslm, dan berbagai “kreativitas” yang tersalurkan tidak pada tempatnya ini. Apa makna rentetan huruf-huruf tersebut? Apakah ada yang bermaksud melafalkan “assalamu ‘alaikum” dengan sebatas mewakilkannya pada tiga huruf: “Ass”, atau mungkin ada yang menambah sedikit huruf, menjadi: Askm, Ass. Wr. Wb, Askum, atau Aslm?
Bagaimana kita membaca huruf-huruf ini: Askm? Tentunya, cara membacanya adalah: a-es-ka-em, bukannya “assalamu ‘alaikum“. Demikian pula dengan model penyingkatan salam semisal itu.
Sahabatku, jika kita tanya kepada diri kita sendiri, maka pastinya tak mungkin ada perintah yang lebih mulia untuk segera dikerjakan selain perintah dari Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتاً غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya ….” (QS. An-Nur:27)
وَإِذَا حُيِّيْتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّواْ بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيب
Apabila kamu diberi penghormatan dengan sebuah penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik darinya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.” (QS. An-Nisa`:86)
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya seorang lelaki telah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “(Amalan) seperti apakah dalam Islam yang paling baik?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Memberi makan orang lain serta mengucap salam kepada orang yang engkau kenal dan tidak engkau kenal.” (Muttafaq ‘alaih)
Demikian itu adalah keutamaan mengucap salam, lalu bagaimana cara mengucap dan menjawab salam yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Dari Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhuma, dia berkata, “Seorang lelaki telah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dia berkata, ‘Assalamu ‘alaikum.’ Kemudian, salamnya tersebut dijawab, lalu dia pun duduk. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam punbersabda, ‘Sepuluh.’ Selanjutnya, seorang lelaki yang lain datang, lalu dia berujar, ‘Assalamu ‘alaikum warahmatullah.’ Kemudian, salamnya tersebut dijawab, lalu dia pun duduk. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam punbersabda, ‘Dua puluh.’ Selanjutnya, seorang lelaki yang lain pun datang, lalu dia berkata, ‘Assalamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh.’ Kemudian, salamnya tersebut dijawab, lalu dia pun duduk. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tiga puluh.’ (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi; At-Tirmidzi berkata, “Hadits yang berderajat hasan.”) [1]
Jazakillahu khairan [2]
Sebagaimana keutamaan pengucapan salam tanpa disingkat-singkat, maka pengucapan doa “jazakillahu khairan” pun sepatutnya disampaikan secara sempurna, tanpa disingkat-singkat.
Dalam pembahasan tentang perkataan seseorang kepada saudaranya, “Jazakallahu khairan,” pada kitab karya Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah, yang berjudul Ahaditsul Ahkam, di juz 6, 188:3664, terdapat dua riwayat hadits yang menjadi dalil bagi sunah ini:
عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إذا قال الرجل لأخيه : جزاك الله خيرا ، فقد أبلغ في الثناء .
1. Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jika seseorang mengatakan kepada saudaranya, ‘Jazakallahu khairan,’ maka sesungguhnya dia telah sempurna dalam mengungkapan rasa terima kasih.’”
عن طلحة بن عبيد الله بن كريز قال : قال عمر : لو يعلم أحدكم ما له في قوله لأخيه : جزاك الله خيرا ، لأكثر منها بعضكم لبعض
2. Dari Thalhah bin Ubaidillah, dia berkata, “Umar telah menuturkan, ‘Seandainya salah seorang di antara kalian mengetahui balasan yang dia peroleh jika dia mengucapkan kepada saudaranya, ‘Jazakallahu khairan,’ tentunya dia benar-benar akan memperbanyak ucapan tersebut di antara mereka satu sama lain.’” [3]
Dalam kitab Faidhul Qadir, 6:172, disebutkan, “Penggalan kalimat ‘maka sesungguhnya dia telah sempurna dalam mengungkapan rasa terima kasih‘ karena dirinya mengakui kekurangannya dan ketidak mampuannya dalam memberikan balasan. Karena itu, dia pasrahkan balasannya kepada Allah, agar Dia yang memberikan balasan yang setimpal.”
Al-’Allamah Al-’Utsaimin rahimahullah menjelaskan dalam Syarah Riyadhush Shalihin, “Hal tersebut terjadi, karena sesungguhnya, jika Allah ta’ala membalasnya dengan kebaikan maka hal itu menjadi kebahagiaan baginya, di dunia dan di akhirat.” [4]
Juga, terdapat satu catatan penting dalam pengucapan doa ini, yaitu penghilangan kata “khairan“. Contoh yang sering kita temui adalah ungkapan “jazakillah“, bukan “jazakillahu khairan” atau “jazakallah khairan“. Hal yang perlu kita perhatikan, jika kita hanya mengucapkan “jazakillah” maka kalimat doa ini masih ambigu: “Semoga Allah membalasmu (dengan) ….” Yang menjadi pertanyaan kita adalah: membalas dengan kebaikan atau keburukan? Tentu saja, yang kita maksudkan adalah “jazakillahu khairan” (semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan), bukan “jazakillahu syarran” (semoga Allah membalas Anda dengan keburukan). Oleh karena itu, ucapkanlah “jazakillahu khairan“, agar tersampaikan maksud dari doa tersebut secara sempurna. [5]
Mari mengamalkannya
Hingga di sinilah pemaparan sederhana ini, yang kami hadiahkan untuk Anda, sahabat kami. Memiliki ilmu yang berbuah amal dalam kehidupan nyata merupakan tanda keberkahan pada ilmu tersebut.
Semoga, setelah membaca tulisan ini, kita akan senantiasa mengucap dan menjawab salam, serta mengucap “jazakillahu khairan” dengan lafal yang sempurna, tanpa disingkat-singkat; tak ada lagi: Ass, Ass. Wr. Wb., Aslm, Askm, Askum, Jzk, dan bentuk penyingkatan lainnya. Sebarkanlah sunah ini, maka pahala pun akan Anda tuai dengan sempurna, insya Allah.

(dikutip dari : muslimah.or.id)

Ketika Bahagia Dan Celaka Telah Ditentukan

Sesungguhnya, seorang anak Adam, telah ditentukan oleh Allah, akan dimasukkan ke Surga atau Neraka jauh sebelum mereka dilahirkan, sebagaimana terdapat dalam hadits,
Allah menciptakan Adam, lalu ditepuk pundak kanannya kemudian keluarlah keturunan yang putih, mereka seperti susu. Kemudian ditepuk pundak yang kirinya lalu keluarlah keturunan yang hitam, mereka seperti arang.. Allah berfriman, ‘Mereka (yang seperti susu -pen) akan masuk ke dalam surga sedangkan Aku tidak peduli dan mereka (yang seperti arang-pen) akan masuk ke neraka sedangkan Aku tidak peduli.’” (Shahih; HR. Ahmad, ath-Thabrani dallam Al-Mu’jamul Kabir dan Ibnu Asakir, lihat Shahihul Jami’ no: 3233)
Dari Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang membawa tongkat sambil digores-goreskan ke tanah seraya bersabda,
‘Tidak ada seorang pun di antara kalian kecuali telah ditetapkan tempat duduknya di neraka atau pun surga.’ (HR. Bukhari dan Muslim)
Setelah mengetahui bahwa seseorang telah ditentukan akan dimasukkan ke surga atau neraka, tentu akan timbul pertanyaan dan kesimpulan berdasarkan akal logika manusia yang lemah, “Kalau begitu buat apa kita beramal. Nanti udah capek-capek ibadah ternyata masuk neraka” atau perkataan semisal itu.
Pertanyaan semisal ini pun banyak ditanyakan oleh para sahabat di berbagai kesempatan. Salah satunya adalah pertanyaan seorang sahabat ketika mendengar pernyataan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Tidak ada seorang pun di antara kalian kecuali telah ditetapkan tempat duduknya di neraka atau pun surga.’
Maka para sahabat bertanya, ‘”Wahai Rasulullah, kalau begitu apakah kami tinggalkan amal shalih dan bersandar dengan apa yang telah dituliskan untuk kami (ittikal)?”‘ (maksudnya pasrah saja tidak melakukan suatu usaha – pen)
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ ، أَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ ، وَأَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاءِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ .ثُمَّ قَرَأَ ( فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى * وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى ). الآية
Beramallah kalian! Sebab semuanya telah dimudahkan terhadap apa yang diciptakan untuknya. Adapun orang-orang yang bahagia, maka mereka akan mudah untuk mengamalkan amalan yang menyebabkan menjadi orang bahagia. Dan mereka yang celaka, akan mudah mengamalkan amalan yang menyebabkannya menjadi orang yang celaka” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah, “Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Allah dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (HR. Bukhari, kitab at-Tafsir dan Muslim, kitab al-Qadar)
Contoh lain adalah ketika sahabat Umar bin Khaththab bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وسأله عمر هل نعمل في شئ نستأنفه ام في شئ قد فرغ منه قال بل في شئ قد فرغ منه قال ففيم العمل قال يا عمر لا يدرك ذلك إلا بالعمل قال إذا نجتهد يا رسول الله
Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Umar: Apakah amal yang kita lakukan itu kita sendiri yang memulai (belum ditakdirkan) ataukah amal yang sudah selesai ditentukan takdirnya?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Bahkan amal itu telah selesai ditentukan taqdirnya.”
Umar: Jika demikian, untuk apa amal?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Umar, orang tidak tahu hal itu, kecuali setelah beramal.”
Umar: Jika demikian, kami akan bersungguh-sungguh, wahai Rasulullah!
(Riwayat ini disebutkan oleh al-Bazzar dalam Musnadnya no. 168 dan Penulis Kanzul Ummal, no. 1583).
Sementara apa yang dilakukan sebagian orang dengan alasan ketetapan tersebut, kemudian mereka pasrah bahkan kemudian bermudah-mudah, bahkan melegalkan perbuatan maksiat maka hal ini tidak dibenarkan. Mereka yang melakukan ini beranggapan, bahwa mereka berbuat maksiat tersebut karena sudah ditetapkan, karena itu mereka tidak berdosa. Sungguh pendapat ini sangat jauh dari kebenaran.
Untuk menjawab kerancuan ini, bahwa seseorang ketika melakukan sesuatu, dia dihadapkan pada pilihan; melakukannya ataukah membatalkannya. Sementara saat menghadapi pilihan tersebut, ia tidak tahu apakah ia ditakdirkan melakukan kemaksiatan ataukah ketaatan. Kemudian, ketika ia memilih melakukan kemaksiatan, itu merupakan pilihannya namun keduanya terjadi berdasarkan takdir dari Allah. Lain halnya dengan orang yang dipaksa melakukan pelanggaran, ia tidak dihukum disebabkan melakukan pelanggaran tersebut, karena ia dipaksa melakukannya, bukan berdasarkan pilihannya sendiri.
Jawaban lain bagi orang yang menjadikan takdir Allah sebagai pembenaran maksiat yang dilakukannya adalah sebagaimana yang dicontohkan oleh syaikh Utsaimin, bahwa ketika terjadi kasus semacam ini, kita katakan kepadanya, “Engkau menyatakan bahwa Allah telah mentakdirkanmu untuk melakukan maksiat sehingga engkau melakukannya, mengapa engkau tidak menyatakan sebaliknya, bahwa Allah mentakdirkanmu untuk melakukan ketaatan, sehingga engkau mentaati-Nya, sebab perkara takdir adalah perkara yang sangat rahasia, tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah ta’ala saja. Kita tidak tahu apa yang Allah tetapkan dan takdirkan itu melainkan setelah kejadiannya. Mengapa tidak engkau hentikan saja kemaksiatan itu, lalu engkau melakukan yang sebaliknya (ketaatan) dan setelah itu engkau katakan bawah hal ini aku lakukan dengan sebab takdir Allah.” (Syarah Hadits Arba’in)
Ini sebagaimana seseorang yang lapar, tentu orang itu tidak akan diam saja agar kenyang. Tetapi ia akan berusaha untuk menghilangkan rasa laparnya itu dengan makan. Tidak mungkin ia menunggu saja hanya karena ia yakin sudah ditakdirkan akan kenyang. Demikianlah, karena seseorang tidak tahu apakah yang akan terjadi atau yang telah ditetapkan untuknya. Namun orang tersebut tentu tahu, agar kenyang atau hilang rasa laparnya ia harus makan. Demikian pula seorang mukmin, ia tahu bahwa untuk masuk surga maka ia harus berbuat ketaatan kepada Allah.
Wallahu a’lam bi showab

(dikutip dari : muslimah.or.id)